Dum… dum… dum…. Barongsai meliuk-liuk mengikuti irama. Senyum merekah di wajah Muslimin (53), warga Kampung Penagi. Anaknya menjadi pemain barongsai. Imlek, seperti halnya hari besar agama lain, jadi simbol kebersamaan dan keberagaman bagi warga Penagi.
Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS
Tabuhan gendang bertalu-talu ketika hari beranjak malam di kampung yang terletak di Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (27/1).
Penagi merupakan kampung tua di Natuna, kabupaten paling depan wilayah Indonesia. Kabupaten ini berada di sebelah utara dan timur berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan, sedangkan sebelah barat dengan Semenanjung Malaysia.
Jaraknya hanya sekitar 581 kilometer dari Singapura dan 350 kilometer dari Kuching, Malaysia. Tak heran, karena lokasinya yang strategis, dahulu banyak kapal dagang yang sandar di Penagi. Kejayaan Penagi masa lalu masih tersisa hingga kini, termasuk keragaman masyarakatnya. Berbagai suku atau etnis ada di kampung kecil ini, etnis Melayu, Bugis, Tionghoa, Jawa, dan sebagainya. Semuanya hidup rukun dalam kedamaian.
Jumat malam itu, Muslimin menunggu di bangku kayu di depan Kelenteng Fuk De Chi yang berhadapan dengan Surau Al Muqarramah. Kedua rumah ibadah ini hanya terpisahkan jalan kecil dari kayu selebar 2 meter.
Tua-muda, pria-wanita, Tionghoa ataupun bukan, semua berbaur untuk menyaksikan atraksi barongsai. Tak perlu menunggu lama, dua barongsai menampakkan wujudnya. Menggoda penonton sambil mengambil amplop merah dari mereka yang datang. ”Itu anak saya,” tunjuk Muslimin ke satu barongsai.
Ia melambai-lambaikan tangannya. Sebuah amplop merah dia pegang. Barongsai pun mendekat. Muslimin memindahkan amplop itu dari kiri ke kanan. Barongsai mengikuti dengan lincah. Ketika dekat, amplop merah itu dalam sekejap masuk ke mulut barongsai.
”Itu anak saya yang kelima. Dia sudah empat kali ikut barongsai,” ucap ayah enam anak ini.
Tio Sentong (63), pengurus Kelenteng Fuk De Chi, menuturkan, saat Imlek, semua orang di Penagi turut serta dalam perayaan, mulai dari membersihkan kelenteng hingga memasang tiang lampu dan lampion.
”Yang pasang lampu dan pemain barongsai juga orang Melayu. Semuanya saling membantu. Tetangga kami juga pasti datang berkunjung kalau Imlek. Kami hidup berdampingan dari dulu,” ujar Tio Sentong.
Lampion dan hiasan berjejer mulai dari gerbang kampung ini hingga sebelum pelabuhan.
Gotong royong telah terbangun sejak lama. Ketika surau dan kelenteng masih berupa bangunan kecil dengan dinding kulit kayu dan alas batang pohon, kerukunan telah tumbuh. Saat pembangunan surau, warga Tionghoa menyumbang bahan bangunan. Begitu pula saat kelenteng diperbaiki, warga Melayu menyumbang segala hal.
”Sama juga saat Lebaran. Kalau Pak Sentong ini tidak datang ke rumah, saya marah. Sama kalau saya tidak datang ke rumahnya saat Imlek. Ini saya baru saja dari rumah Pak Sentong,” tutur Muslimin.
Kelenteng dan surau memang berdampingan sejak berdiri puluhan tahun lalu. Surau berdiri lebih dulu. Beberapa tahun berselang, kelenteng didirikan.
Sentra ekonomi
Penagi adalah kampung dengan penduduk 75 keluarga. Sebagian besar warga menempati rumah panggung yang berdiri di atas laut. Dari luar, kampung ini seperti kampung suku Bajo yang hidup di atas laut.
Posisi Penagi berada di dalam teluk di sisi timur, yang saat ini berdekatan dengan Bandara Ranai dan pelabuhan. Dulu, Penagi merupakan sentra ekonomi di Kecamatan Bunguran. Semua kebutuhan warga tersedia di deretan pertokoan ini.
Dari beberapa cerita, nama Penagi diambil dari kata
”ketagihan”. Pada saat lampau, sebagai kawasan pelabuhan,
daerah ini jadi sentra penjualan candu. Namun, itu adalah kisah lalu.
Yang masih tertinggal hingga kini adalah keragaman etnis dan agama. Keragaman itu bukan masalah di Penagi. Malah, perbedaan itu menjadi hal yang menguatkan mereka.
”Berkelahi pun kami tidak pernah. Kami di sini hidup saling menjaga,” kata Tio Lim Lim (37), pemuda setempat yang juga pelatih barongsai remaja dan pemuda Penagi.
Saat ada kegiatan di kampungnya, dia tidak segan turun tangan membantu. ”Kalau ada tetangga kami yang meninggal, yang ketam papannya kami. Saya atau yang lain ikut turun ke kuburan, menurunkan jenazah, karena kami di sini sudah bersaudara,” ucap Lim Lim.
Kebersamaan itu bukan tumbuh seketika. Muslimin mengenang, saat dirinya masih kecil, ayahnya adalah wakil RT di Penagi, sedangkan ketua RT-nya berasal dari etnis Tionghoa.
Gambaran Penagi dengan kerukunan bermasyarakat merupakan simbol utuh kehidupan di Kabupaten Natuna. Tokoh adat Natuna, Wan Suhardi, menjelaskan, sikap terbuka dan mau menerima terus terjalin dan terwujud dalam aktivitas keseharian. ”Saya tidak khawatir nilai ini akan luntur. Hanya perlu terus dijaga dan tidak ada yang memprovokasi,” ujarnya.
Artikel ini terbit di Harian Kompas, Senin (30/1/2017)